Pemerintah Indonesia berencana menambah impor gas petroleum cair (LPG) dan minyak dari Amerika Serikat (AS) dengan nilai yang diperkirakan melebihi US$10 miliar atau sekitar Rp168 triliun (kurs Rp16.810 per dolar).
Langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah menyeimbangkan neraca perdagangan dengan AS, menyusul kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan tarif impor hingga 32% terhadap sejumlah produk asal Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa kebijakan ini dilakukan atas arahan langsung Presiden Prabowo Subianto.
“Atas arahan Bapak Presiden, kami diminta memeriksa komoditas apa lagi yang bisa dibeli dari Amerika. Dari sisi ESDM, kami rekomendasikan untuk menambah kuota impor LPG dan sebagian minyak dari AS. Nilainya lebih dari US$10 miliar,” ujar Bahlil dalam keterangannya.
Dia menjelaskan, saat ini neraca perdagangan Indonesia terhadap AS mengalami surplus sebesar US$14–15 miliar. Dengan penambahan impor energi ini, diharapkan neraca tersebut menjadi lebih seimbang dan tidak memicu tekanan dari Negeri Paman Sam.
“Kalau kita alihkan sebagian neraca perdagangan melalui pembelian ini, maka tidak akan ada lagi ketimpangan yang terlalu besar. Neraca bisa menjadi lebih balance,” tambahnya.
Bahlil juga mengungkapkan bahwa saat ini sekitar 54% impor LPG Indonesia sudah berasal dari Amerika. Sisanya berasal dari negara seperti Singapura, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Meski akan menambah pasokan dari AS, impor dari negara lain tidak serta-merta dihentikan. “Volumenya mungkin dikurangi, tapi tidak distop total,” ujarnya.
Soal dampak ekonomi, Bahlil menegaskan bahwa pemerintah tetap mengedepankan aspek efisiensi dan harga yang kompetitif. “Yang penting, produk energi yang masuk ke Indonesia harus tetap dengan harga terbaik dan ekonomis,” ucapnya.
Untuk saat ini, rencana tambahan impor masih fokus pada dua komoditas utama: LPG dan minyak. Sedangkan produk energi lain seperti LNG dan bahan bakar minyak (BBM) belum masuk pembahasan karena belum mendesak.
“Sampai sekarang, baru LPG dan minyak yang kami hitung. Komoditas lain belum masuk perencanaan karena belum ada kebutuhan mendesak,” tutup Bahlil.***
(Detik.com)