Home / Nasional / APBD Lelet Pembangunan Seret
H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA KOMISI III DAN BANGGAR DPRD PROVINSI RIAU

APBD Lelet Pembangunan Seret

KEPRIPOS.COM – Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Anugerah Layanan Investasi 2021 (24/11/2021) secara blak-blakan menegur Pemerintah Daerah (Pemda). Sebab rendahnya serapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk tahun 2021. Bahkan menyentil dan terang-terangan bilang dana tersebut dibiarkan mengendap di daerah. Meski Oktober sejak 2021 Presiden sudah ngegassoal APBD mengendap bank sebesar Rp170 triliun, namun jelang akhir tahun semakin menurun “celengan” malah semakin besar. Terhitung per November 2021 tembus Rp226 triliun! Untuk Riau sendiri, serapan APBD Provinsi Riau tahun 2021 senasib. Gubernur Riau (Gubri) sendiri mengakui realisasi rendah padahal sudah pada November 2021. Sepintas, terimalah presiden dapat dimaklumi. Kejadian juga bukan sekarang, tapi berulang-ulang. Artinya klasik dan klise. Besarnya jumlah yang menganggur jelas sangat populer. Di tengah kondisi bangsa butuh “nutrisi” guna memperkuat daya tahan dan tahan terhadap ekonomi.

Apalagi APBD punya peran vital. Lambatnya penyerapan APBD akan mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi di daerah. APBD masih signifikan sebagai pengungkit ekonomi. Serapan rendah membuat pembangunan lamban dan stagnan. Ketika infrastruktur terhambatnya produktivitas masyarakat berkurang. Perputaran ekonomi berbagai sektor juga bakal mandek. Khususnya bagi sektor-sektor usaha yang bergantung dari belanja Pemda atau APBD. Kontraktor lokal bisa-bisa gulung tikar atau berhenti pusatkan. melihat profil kebanyakan kontraktor daerah adalah perusahaan skala kecil yang selalu kesulitan memperoleh modal dan pembiayaan dari perbankan, maka APBD sering diandalkan. Ekses matinya kontraktor lokal jelas akan menambah angka-angka tersebut berdasarkan ketersediaannya lapangan pekerjaan di daerah. Plus sektor tersebut berupa padat karya.

evaluasi

Berbeda dengan sentilan Presiden yang menyebut APBD mengendap, pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) beralasan bahwa dana tersimpan bukan sengaja diendapkan Pemda, dimana sudah jadi rahasia umum ada saja yang nakal demi memperoleh keuntungan bunga bank. Kemendagri justru mengungkap bahwa akar masalahnya terletak di pengelolaan keuangan. Sebagai contoh tagihan dari kegiatan-kegiatan pengadaan barang dan jasa yang belum masuk sehubungan dengan kemajuan kegiatan yang belum selesai. Jadi sekilas tampak dana pemerintah lambat dibelanjakan. Berangkat dari alasan pihak Kemendagri, maka perlu evaluasi atas pengelolaan APBD. Terkait tagihan misalnya, Kemendagri mendorong agar Pemda melakukan pembayaran sesuai hasil kinerja atau pengajuan komitmen yang dilakukan pada awal kontrak. Sehingga penyerapan anggaran daerah dilakukan selama bulan berjalan. Selain pembenahan hal teknis, tidak berlebihan kiranya disampaikan perlu ada reformasi anggaran belanja pemerintah. bukan reformasi perpajakan dalam rangka optimalisasi dan mengejar pendapatan saja yang digaungkan, tapi juga bagaimana cara membelanjakan uang yang diperoleh;cara membelanjakan punya urgensi sama bahkan lebih penting daripada cara mendapatkan .

Kembali mengulas APBD Riau, rendahnya realisasi bukan hal baru. Kami di lembaga legislatif sudah mati rasa. Tak terhitung banyak upaya yang ditempuh agar perbaikan kinerja. Bila diinventarisir sumber masalah, penyebabnya itu-itu saja. Pertamadiawali aspek manajemen. Dalam konteks ini perlu keinginan kuat untuk berbenah. Setakad ini antara Pemprov dengan DPRD Provinsi Riau bersepakat, Badan Anggaran (Banggar) bersama TAPD Pemprov Riau mengupayakan pembahasan APBD TA 2022 ketok palu 30 November 2021. Motivasinya agar manajemen belanja daerah bisa lebih lagi. Dengan begitu Pemprov bisa melaksanakan lelang lebih dini. Kebiasaan selama ini menggesa jelang akhir tahun terbukti selain membuat proses lelang amburadul dan potensi pelanggaran serta sulitnya menyerap anggaran, juga membuat pekerjaan tidak maksimal. sebelumnya sesuai dengan yang disampaikan Kemendagri, bahwa pada tahun 2022 Pemda mengumumkan menggunakan anggaran lebih dini dan berkontrak lebih awal yakni bulan Januari. Ekspektasinya, Agustus sebagian anggaran sudah bisa terserap.

Kedua, kapasitas, integritas dan kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM) tak pelak faktor penentu kecepatan dan ketepatan eksekusi anggaran. Untuk optimalisasi APBD Riau, dalam hal ini pula tantangan pembenahannya. Pernyataan Gubri dalam wawancara ke awak media belum lama ini mengungkap celah. Dari hasil evaluasi Kepala Daerah realisasi bersama perangkatnya masih rendahnya APBD Riau, yang paling mengemuka adalah perkara dokumen tender yang prosesnya lambat. Adapula tender yang dilakukan berulang-ulang. Mengutip dari media, Gubri bahkan berujar “kalau tender berulang-ulang, berarti ada dokumen tak beres, dan mungkin ada persyaratan-persyaratan tak benar,” (23/11/2021). Maka tak heran masalah lelang selalu jadi temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Provinsi Riau.

kepemimpinan

Walau disparitas kualitas SDM buruk bagi Pemda, bukan berarti SDM Riau tidak bisa mencapai level di Pemda lain yang baik. Kuncinya dimulai dari kepemimpinan. Harus ada komitmen dan ketegasan. Untuk Riau rasa krisisdi level pimpinan sebenarnya sudah terlihat. Tampak dari upaya baik itu Gubri yang terus menjaga dan meningkatkan kemajuan dan pencapaian jajaran. Wakil Gubernur Riau (Wagubri) yang juga tegas meminta kepada Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Termasuk Lingkungan Pemprov bekerja maksimal dan tidak menjadikan pandemi sebagai dalih rendahnya realisasi APBD Riau. Bahkan secara terbuka meminta media mengawasi. Namun ketegasan perlu dibarengi dengan penataan. Seperti pilihan, bukan semata-mata karena dekatnya tetapi lebih mengutamakan kemampuan. Sehingga posisi strategis yang benar-benar mau bekerja dan punya manajemen keuntungan. Terus terang keterlambatan keterlambatan anggaran justru ada yang sengaja dilakukan untuk menahan anggaran dengan motivasi tertentu. Kebanyakan karena takut perubahan regulasi dari pusat berikut lamban mengadopsi peraturan terbaru.

Berangkat dari pemaparan, perlunya perubahan paradigma. Apa yang terjadi di masa krisis dan pandemi. Ironisnya, penyakit pengelolaan APBD sebelum pandemi dapat diatasi. memasuki pandemi semakin kagok dan memburuk. Sementara pengelolaan dalam masa krisis menuntut pendekatan lebih revolusioner dibanding pola saat kondisi ekonomi masih normal. Jadi harus ada lompatan besar dan keberanian berubah. Rasa krisis harus ditularkan ke jajaran. Konsep punishment dan reward mungkin bisa membantu. Dalam hal ini kita bisa mencontoh Pemda DKI Jakarta yang menerapkan tradisi bagi calon pejabat DKI, dengan menyiapkan surat pernyataan siap bila tidak dapat mencapai target kinerja. Kadarnya tentu disesuaikan. Kalau prestasi kurang, bisa di-review untuk dicari penyebab dan diberi kesempatan untuk memperbaiki. Jika tak kunjung perbaikan, menerima sanksi. Sebaliknya bagi hasil yang ditunjukkan dengan mengarahkan ke arah lebih baik. Melalui cara tadi dan pendekatan lain dengan tujuan yang sama semangat perubahan bisa terwujud. Perlu dingat, dalam kondisi krisis nasib masyarakat dipertaruhkan.

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungan penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kepripos.com

Check Also

Ini Pembelaan Panji Gumilang Saat Ponpes Al Zaytun Disebut Sesat: Hak Asasi Manusia Jalankan Ibadah

Pondok Pesantren Al Zaytun masih jadi sorotan karena ajarannya dianggap menyimpang. Penyimpangan ajaran itu dinilai dari tata cara …