Chatib Basri: Tax Amnesty Bukan Solusi Pilihan di Kala Normal

Ekbis167 Views

KEPRIPOS.COM (KPC), Jakarta — Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri menilai program pengampunan pajak merupakan kebijakan yang terpaksa diambil pemerintah di tengah perlambatan ekonomi dan pelemahan ekspor. Namun, ia memilih tidak untuk menggunakan kebijakan amnesti pajak ketika menjadi orang nomor satu di Kementerian Keuangan (21 Mei 2013 – 20 Oktober 2014).

Alasannya, kata Chatib, kondisi perekonomian nasional dua tahun yang lalu berbeda dengan saat ini.  Kala itu, Indonesia masih bisa merasakan kemewahan dari meledaknya harga komoditas dan permintaan ekspor belum turun setajam dua tahun terakhir. Dampaknya, penerimaaan fiskal masih relatif aman dengan defisit masih di kisaran 2,2 hingga 2,3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

“Harga komoditas kala itu masih di atas jadi saya punya ruang untuk reformasi perpajakan dilakukan sebelum tax amnesty dilakukan,” tutur ekonom yang ditunjuk sebagai saksi ahli pemerintah dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pengampunan Pajak di Mahkamah Konstitusi, Senin (31/10).

Menurut Chatib, beberapa upaya perbaikan sistem perpajakan yang terjadi di eranya antara lain inisiasi penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) pajak tahunan secara online (e-filing), penyerahan faktur pajak secara online, dan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) final bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Sementara saat ini, lanjutnya, pemerintahan dihadapkan dengan kondisi perlambatan ekonomi dunia yang menekan permintaan ekspor. Tak hanya itu, kondisi harga komoditas juga belum pulih sehingga sulit mengharapkan ekspor sebagai motor pertumbuhan ekonomi dan sumber penerimaan negara.

“Padahal, struktur penerimaan perpajakan kita itu banyak didominasi oleh perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam,” ujarnya.

Dia pun mengutip data Bank Dunia 2013, di mana rata-rata harga minyak dunia dan batubara pada saat itu masing-masing berkisar US$104,08 per barel dan US$84,56 per metrik ton (mt). Sementara tahun lalu, harga keduanya anjlok menjadi US$50,75 per barel dan US$57,51 per mt.

Karenanya, Chatib mengatakan pemerintah memiliki urgensi untuk melawan tekanan fiskal yang berasal dari risiko merosotnya penerimaan . Bahkan, Menkeu Sri Mulyani Indrawati masih memperkirakan tahun ini defisit anggaran diperkirakan mengarah ke 2,7 persen terhadap PDB.

“Situasi berbeda ketika 2015-2016, kalau kita mau melakukan reformasi perpajakan dulu itu butuh waktu tiga sampai empat tahun. Sementara, pendapatan mengalami penurunan saat ini,” ujarnya.

Amnesti pajak, menurut Chatib, pilihan yang terpaksa diambil pemerintah di tengah kondisi yang ada. Jika pemerintah tidak mendapatkan tekanan dan memiliki kelonggaran waktu, Chatib yakin pemerintah akan menempuh langkah lain untuk mengawali reformasi perpajakan.

“Kalau periodenya panjang, saya kira bukan ini [amnesti pajak] jawabanya,” ujarnya.

Lebih lanjut, dampak sentimen positif amnesti pajak ke perekonomian sudah bisa terlihat dari menguatnya nilai tukar rupiah lebih dari 6 persen dan penguatan Indeks  Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 20 persen sepanjang tahun ini. Penguatan ini akan terus berlanjut seiring dengan masuknya realisasi komitmen repatriasi dari wajib pajak.

Selanjutnya, Chatib meyakini perbaikan basis pajak melalui program amnesti pajak merupakan aset penting dalam menggenjot penerimaan pajak ke depan.

(CNN INDONESIA.com)

Leave a Reply