Pasar saham Asia mengekor pelemahan bursa Amerika Serikat (AS) pada Rabu (20/1/2016), dipicu turunnya harga minyak yang berdampak kepada indeks sektor energi.
Indeks MSCI Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,3 persen. Sementara indeks Jepang Nikkei turun 0,7 persen dan pasar saham Australia kehilangan 0,4 persen.
Pasar Cina memimpin pasar pada Selasa kemarin, dengan kenaikan indeks 3 persen. Dengan indeks komposit Shanghai SSEC naik 3,2 persen.
Harga minyak mentah berkubang pada titik terendah sejak 2003, setelah pemasok energi dunia memperingatkan tentang membanjirnya pasokan di pasar.
Harga minyak mentah berjangka AS turun 49 sen menjadi US$ 27,97 per barel di awal perdagangan, sementara minyak Brent berada di posisi US$ 28,76 per barel.
Kondisi ini akibat berbagai laporan lanjutan mengacu pada kondisi perekonomian China yang melambat.
Tingkat pertumbuhan ekonomi China melambat ke level terendah dalam 25 tahun. Pertumbuhan ekonomi China tercatat 6,9 persen pada 2015. Pada kuartal IV 2015, ekonomi China tumbuh 6,8 persen. Angka pertumbuhan ekonomi itu masih sesuai dengan perkiraan.
Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan global untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari setahun.
Seiring pelemahan perekonomiannya, Bank sentral China mengaku akan menyuntikan lebih dari 600 miliar yuan ke sektor perbankan untuk membantu mengurangi tekanan likuiditas, yang diharapkan dilakukan sebelum Tahun Baru Imlek pada awal Februari.
Tom Porcelli, kepala ekonom RBC Capital Markets, mencatat jajak pendapat dari investor menunjukkan Wall Street mengalami bearish setiap saat sejak pertengahan 1987. “Mungkin ini karakteristik pertarungan yang terbaru,” tulisnya dalam sebuah catatan.