Kegelisahan Orang Seko dan Ancaman Kampung yang Tenggelam

Berita46 Views

KEPIRPOS.COM (KPC), Jakarta — Kecemasan Mahir Takaka mulai terlihat saat membicarakan kampung halamannya pada siang itu. Dia memulai perbincangan soal pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Seko Tengah, Luwu Utara, Sulawesi Selatan sejak 2012 lalu.

Mahir khawatir tiga wilayah adat akan tenggelam dimakan proyek energi tersebut. Dimulai dari Amballong, Pohoneang hingga Hoyyane.

“Ini merupakan bagian proyek energi 35.000 megawatt,” kata Mahir pada pekan lalu. “Namun, tidak ada upaya pemerintah untuk meminta persetujuan masyarakat adat.”

Mahir kelahiran Desa Hono, 45 tahun silam. Dia bekerja untuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), satu organisasi yang membela hak adat, berbasis di Jakarta. Tiga wilayah adat itu, kata dia, akan hilang seiring dengan laju pembangunan PLTA untuk industri. Di dalamnya, ada hamparan sawah dan kebun milik orang-orang Seko. Amballong punya lahan sekitar 22 hektare, Pohoneang seluas 5.212 hektare dan Hoyyane, 18.971 hektare.

Kabar tak menyenangkan pun datang silih berganti.

Pada Oktober 2014 misalnya, pematokan lahan dilakukan pihak pengembang PLTA di tanah adat Pohoneang tanpa persetujuan masyarakat. Ini akhirnya memicu pemberian sanksi adat. Tetapi, masalah tersebut justru diputarbalikkan.

“Pemberian sanksi dilaporkan ke Polres Luwu Utara sebagai tindakan pemerasan masyarakat adat,” kata Mahir.

PLTA dengan kapasitas 800 megawatt itu memang akan dibangun di Luwu Utara. Dua perusahaan yang menggarap proyek itu adalah PT Seko Power Prima dan PT Seko Power Prada. Namun, AMAN memperkirakan, listrik itu bukan untuk masyarakat, melainkan untuk penyokong industri di sana.

Ilustrasi Pembangkit listrik tenaga air. Keberadaan PLTA di Kecamatan Seko mengancam keberadaan tiga wilayah adat di sana. (Thinkstock/Libertygal)

Ini bukanlah tanpa alasan.

Organisasi itu menyatakan sedikitnya sepuluh Izin Usaha Pertambangan (IUP) sudah dikeluarkan pemerintah kabupaten tersebut. Ini terdiri dari izin untuk tambang bijih besi, emas, hingga logam dasar.

“Dengan kehilangan tanah, akan memutus nafas kehidupan generasi di kampung,” katanya.

Mungkin, kecemasan orang macam Mahir punya alasan kuat.

Pemerintah menetapkan sedikitnya 11 jenis infrastruktur skala besar sepanjang 2015-2019, termasuk sektor ketenagalistrikan. Proyeksi pendanaan bisnis energi itu pun menjadi salah satu yang terbesar yakni Rp980 triliun. Dana besar lainnya dibutuhkan untuk perhubungan laut (Rp900 triliun); jalan (Rp805 triliun); serta energi migas (Rp506 triliun). Dan masalah ini, tentu saja mempengaruhi perubahan lahan.

“Pembangunan waduk baru serta pemanfaatannya untuk irigasi, air baku dan listrik,” demikian Bappenas dalam keterangan resminya, “Berdampak pada perubahan fungsi lahan.”

Bappenas menyatakan salah satu hal yang menghambat realisasi investasi adalah keterbatasan infrastruktur. Termasuk pasokan listrik. Dalam keterangan Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana disebutkan, ketersediaan infrastruktur adalah prasyarat utama dalam pembangunan berkualitas. Presiden Joko Widodo sendiri menargetkan proyek listrik 35.000 megawatt di seluruh Indonesia—sebagian memakai bahan bakar batu bara.

Tetapi, cerita Mahir bisa jadi membuka kedok pembangunan. Kampung orang-orang Seko akan hilang karena proyek PLTA.

Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil mengatakan proyek infrastruktur memang menjadi prioritas dalam pembangunan. Ini termasuk jalan tol, bandara, pelabuhan hingga waduk raksasa. Untuk mendukung infrastruktur, dia menuturkan, pihaknya menargetkan 25 juta sertifikat akan diterbitkan hingga 2019.

“Bagaimana strategi jangka panjang perlindungan masyarakat adat?”

“Sejauh ini tak ada masalah. Dengan undang-undang baru semua masalah selesai,” kata Sofyan.

Undang-undang yang dimaksud Sofyan adalah Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam aturan itu disebutkan ganti kerugian tanah ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali atau bentuk lain yang disepakati masyarakat hukum adat.

Sofyan menyatakan hal lainnya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan konflik tanah adalah program reforma agraria.

Masalahnya, tak sesederhana itu.

AMAN mencatat sedikitnya 217 kasus kriminalisasi masyarakat adat terjadi sepanjang 2003—2014. Ini mulai dari Sumatra Utara hingga Maluku Utara. Tak hanya soal infrastruktur, persoalan pun datang dari sektor bisnis lainnya macam pertambangan dan perkebunan skala besar. Organisasi itu mengkhawatirkan program pembangunan terus menghancurkan wilayah adat masyarakat di Nusantara.

Dan reforma agraria seperti yang disampaikan Sofyan, bisa jadi, ilusi semata.

Kepala BPN periode 2005—2012 Joyo Winoto pun sempat menyebutkan reforma agraria sebagai upaya penyelesaian konflik. Namun nyatanya, masalah lahan adat tak pernah terselesaikan. Joyo, dalam satu iklan layanan pertanahan, menyatakan pentingnya membela hak tanah rakyat.

“Hak rakyat atas tanah harus terus dikembangkan,” kata Joyo dalam video yang diluncurkan pada 2009. “Dan inilah pentingnya, kita melaksanakan reforma agraria.”

Dalam pelaksanaannya, lembaga itu justru memasifkan sertifikat lahan untuk petani. Mulai dari Garut, Batang, Lampung hingga Buol. Legalisasi tanah, demikian AMAN, justru semakin mempercepat hilangnya sumber-sumber agraria.

Ilustrasi tambang bijih besi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara meyakini keberadaan PLTA Seko bukan untuk masyarakat, melainkan industri. (Thinkstock/Kapook2981)

“Reforma agraria itu salah arah,” kata Ruka Sumbolinggi, Deputi II Urusan Advokasi Kebijakan, Hukum dan Politik AMAN. “Padahal, reforma agraria yang sesungguhnya adalah mengakui hak tanah masyarakat adat.”

AMAN menyatakan pihaknya sudah memberikan peta wilayah adat 6,8 juta hektare kepada pemerintah sejak 2012 lalu, namun belum ada hasilnya. Kini, kata Rukka, pihaknya terus berhadapan dengan pelbagai macam bisnis besar yang menghancurkan wilayah adat.

AMAN memperkirakan masyarakat adat bakal kehilangan sekitar 2 juta hektare lahan karena proses pembangunan. Di pelbagai pelosok, sambungnya, letupan-letupan konflik tanah terus bermunculan.

“Apa sikap yang paling ekstrim masyarakat adat?”

“Kami akan kembali bakar-bakar. Memalang jalan,” kata Rukka.

Rencana ini pun mengingatkan aksi ekstrem oleh kelompok petani atau masyarakat adat lainnya, sekitar 5 tahun silam.

Ada Muhammad Ridwan, petani asal Pulau Padang, Riau, yang menjahit mulutnya karena melawan perusahaan raksasa kertas pada 2011. Ada pula Abas Ubuk, pemimpin Suku Anak Dalam, yang melakukan aksi jalan kaki Jambi—Jakarta pada 2013 karena konflik dengan perusahaan sawit.

Masalahnya, lahan mereka tak jua kembali.

Dan kini, ada kegelisahan orang-orang Seko. Mungkin kecemasan Mahir Takaka tak bisa diabaikan begitu saja.

(CNN INDONESIA.com)

Leave a Reply