KEPRIPOS.COM (KPC), TANJUNGPINANG – Satu penyebab makin terpuruknya perekonomian masyarakat Kepulauan Riau karena lamban antisipasi dari pemerintah daerah. Badan Pusat Statistik (BPS) menilai Pemprov Kepulauan Riau tidak mengantisipasi perlambatan perkonomian sehingga pertumbuhannya pada triwulan II-2017 hanya 1,52 persen.
“Pertumbuhan ekonomi Kepri yang hanya 1.52 persen pada triwulan II, sebenarnya dapat diantisipasi oleh gubernur. Pemerintah Kepri seharusnya menggenjot secepat-cepatnya (penggunaan) APBD sejak tahun anggaran diketok,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri Panusunan Siregar, di Tanjungpinang, Minggu (10/09/2017).
Dia menyayangkan APBD yang diharapkan sebagai stimulan pertumbuhan ekonomi, justru belum terlihat perannya. Hal ini ditandai dengan menurunnya konsumsi pemerintah yang cukup signifikan pada triwulan II 2017.
Pada triwulan kedua, lanjutnya, konsumsi pemerintah justru kontraksi di angka minus 6,66 persen.
“APBD Kepri memang hanya menyumbang 5,23 persen dari total angka pertumbuhan ekonomi. Tapi yang mungkin kita lupa bahwa meski kecil, APBD Kepri ini stimulan. Anggaran ini yang menarik pertumbuhan ekonomi Kepri,” ucapnya.
Seharusnya, menurut dia Pemprov Kepri dan jajaran OPD Kepri lebih aktif membelanjakan anggaran itu untuk membangun infrastruktur. Dengan begitu, ekonomi Kepri kembali bergairah. Dengan bergairahnya pembangunan, diharapkan dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
“Saya harus jujur mengatakan bahwa secara fakta empiris analistis statistik, OPD Pemprov Kepri belum memainkan perannya. Bagaimanapun juga pengelolaan APBD, dan APBN ada di tangan mereka,” katanya.
Panusunan menambahkan, bahwa akibat dari lambatnya OPD ini bergerak, ia memprediksi seluruh sasaran yang ditargetkan tahun sulit terealisasi.
“Dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang hanya 1,52 persen, maka target RPJMD untuk tahun 2017 yang ditetapkan pemprov Kepri sebesar 5,85 persen tampaknya tidak mungkin lagi bisa dicapai,” katanya lagi.
Selain APBD, BPS dan Bank Indonesia menyebut tiga sektor andalan Kepri saat ini sedang mengalami sakit parah.
“Industri pengolahan, konstruksi dan pertambangan-penggalian turun sangat signifikan. Bahkan, industri pengolahan dan pertambangan bahkan mengalami kontraksi (pertumbuhan minus), terburuk dalam tujuh tahun terakhir,” ujarnya. (*)