Perjuangan Puasa Pertamaku

Lifestyle66 Views

KEPRIPOS.COM (KPC) – Terik matahari begitu kuat menikam ubun-ubun Marto. Pria paruh baya itu mulai sepoyongan. Badan sudah berkucur peluh. Kulit memerah, terebus siraman panas sinar mentari.

Panas yang menggigit itu membuat Marto tak kuat meneruskan pekerjaannya sebagai buruh di kebun sayur, Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Meski jarum jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun udara seakan sudah mulai terasa membakar tubuh di hari pertama Ramadan.

“Ya ampun panasnya. Mau batal tapi sayang. Masa ga kuat,” kata Marto membantin sambil bergegas ke gubuk dekat kebun. Ia memilih berteduh. Ngaso.

Bagi Marto puasa di bawah tikaman cuaca seperti itu jelas sebuah tantangan. Sebagai seorang yang baru menjadi mualaf, ini adalah puasa perdananya.

Marto ingin taat pada ajaran agama. Harus berpuasa saat Ramadan. Tak boleh makan dan minum semenjak fajar masih di peraduan hingga penguasa siang itu terbenam.

Hari itu Marto mampu bertahan. Mampu menahan lapar dan dahaga hingga matahari pamit. Selama 13 jam.

“Dia memilih menghentikan pekerjaannya dan kemudian istirahat tidur setelah Dzuhur. Dan bangun pada sore hari setelah masuk waktu Asar,” kata Didin Pratanto, juru dakwah Islam kawasan Tengger menceritakan kisah puasa perdana mualaf di sana.

Tak mudah memang bagi para mulaf itu menjalankan puasa di Desa Argosari, yang berada pada ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut. Cuaca bisa sangat terik dan dingin hingga menusuk tulang. Sebagian besar warganya adalah petani.

Hal unik lainnya yang bersifat massal pada mualaf Tengger adalah bagaimana mereka ketika menunggu waktu berbuka. Sejak Asar mereka sudah menyalakan radio, menunggu azan Magrib (dari Lumajang).

Padahal waktu magrib Lumajang dengan Argosari berselisih 3-5 menit. Ini yang terkadang bikin repot. Mereka harus menunggu 3-5 menit setelah mendengarkan suara azan di radio, baru kemudian berbuka. Namun kini yang menjadi patokan waktu berbuka adalah azan di masjid Argosari.

Para mualaf Tengger sangat antusias menyambut datangnya Ramadan. Bahkan, mereka sudah bersiap jauh-jauh hari. Dari membuat kue hingga belanja makanan untuk persiapan selama Ramadan.

Mereka juga membeli sarung atau mukena sebagai kebutuhan menjalankan ibadah di bulan penuh rahmat itu. Subhanallah.

Melampau Segala Godaan Duniawi

Sudah tiga hari, Dewi–bukan nama sebenarnya–terbangun setiap pukul 03.00 untuk melaksanakan sahur di ibadah puasa pertamanya sebagai seorang muslimah.

Tiga minggu jelang Ramadan, ia mantap memeluk Islam. Dan Ramadan 2016 menjadi titik tolaknya bersimbah ibadah. Dewi sebetulnya sudah memeluk Islam sejak kanak-kanak. Namun saat menikah, ia tanggalkan agama lamanya. Ikuti keyakinan sang suami.

Meski terasa menantang karena harus menhan haus dan lapar selama 13 jam, ia tetap memantapkan hatinya melampaui segala godaan duniawi hingga hari kemenangan mendatang.

“Ada makna mendalam yang ia rasakan dari puasa Ramadan kali ini. Rasa lesu dan lapar yang dulu sempat ia rasakan kala menjadi Muslimah, hilang. Sekarang malah nggak merasa lapar. Nggak tahu ada yang beda,” kata Dewi saat berbincang dengan Dream, Rabu kemarin 8 Juni 2016.

Datangnya Ramadan juga disambut antusias oleh Echa. Namun sayang, hari puasa perdana sebagai muslimah tak bisa dia jalani. Datang bulan jadi pengganjalnya puasa.

“Sedih nggak bisa ngrasain puasa pertama,” kata mahasiswi teknologi informatika di salah satu universitas swasta Jakarta itu.

Echa bercerita, sejatinya perkenalannya dengan Islam telah terjalin lama. Ia mengenal lebih dalam Islam sejak bersekolah di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Echa kala itu bersekolah di SMP Islam.

“Karena banyak SMP yang sudah menutup pendaftaran. Jadinya saya masuk SMP Islam. Di situlah saya mengenal Islam. Kemudian mencari tahu dan mendalami,” kata dia mengenang.

Tetapi, lama terendap, hidayah itu baru datang jelang Ramadan 1437 Hijriah. Ia baru memantapkan menjadi Muslimah di 3 Juni 2016 lalu di depan Ustaz Usman Syafii.

Gerbang Ramadan telah terbuka. Mengucurkan hidayah dan berkah. Marto, Dewi dan menjadi bukti perjuangan mencari rahmat Sang Pencipta, Allah SWT.

Sebuah pertanyaan mendesak batin. Bagaimana dengan kita? (Dream)

 

Leave a Reply