KEPRIPOS.COM (KPC), Jakarta — Kemampuan industri asuransi dan reasuransi nasional dalam mengelola risiko memengaruhi devisa yang terbang ke luar negeri. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), sampai semester I 2016, devisa yang melayang ke luar negeri tercatat sebesar US$518,97 ribu atau turun tipis 2,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni US$531,13 triliun.
Devisa tersebut menguap dari transaksi pembelian premi asuransi atau reasuransi luar negeri untuk memback up bisnis asuransi di dalam negeri. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya kapasitas perusahaan asuransi dan reasuransi nasional dalam menahan risiko.
“Retensi yang semakin besar, dan ketentuan wajib menutup asuransi di Indonesia mampu mengurangi devisa asuransi ke luar negeri. Sehingga, semester I 2016 (year on year) angkanya turun,” ujar Dumoly F Pardede, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2/9).
Sekadar informasi, di tahun-tahun sebelumnya, devisa asuransi yang terbuang ke luar negeri sempat menjadi perhatian pemerintah. Tengok saja, akhir tahun 2012 silam, jumlah yang terbuang mencapai US$8,12 juta. Beruntung, jumlahnya menurun dua tahun setelahnya, yakni US$7,44 juta pada akhir tahun 2013, dan US$7,17 juta pada akhir tahun 2014.
Karena khawatir jumlahnya terus meningkat, pemerintah melalui OJK menggandeng asosiasi terkait kemudian menelurkan kebijakan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14/POJK.05/2015 tentang retensi sendiri, dan dukungan reasuransi dalam negeri, termasuk Surat Edaran (SE) OJK Nomor 31/SEOJK.05/2015 tentang batas retensi sendiri, besar dukungan reasuransi, dan laporan program reasuransi dan retrosesi.
Aturan itu menyebutkan, antara lain lini bisnis harta benda, pengangkutan, energi on shore, dan rekayasa dari perusahaan dengan modal sendiri kurang dari Rp500 miliar harus menahan risiko 1,5 persen dari modal untuk tiap risiko dari lini bisnis tersebut. Sementara, perusahaan dengan modal di atas Rp2 triliun harus menahan Rp15 miliar. Semakin besar modal perusahaan, semakin kecil retensi sendiri yang disyaratkan regulator.
Di lini bisnis asuransi rangka kapal, perusahaan bermodal Rp500 miliar ke bawah harus menahan retensinya 0,6 persen, sedangkan perusahaan dengan modal di atas Rp2 triliun harus menahan Rp6 miliar. Untuk asuransi rangka pesawat dan satelit, masing-masing harus menahan 0,375 dan 0,075 persen dari total modal yang dimiliki.
Edi Setiadi, Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK sempat menyebutkan, regulator ingin lebih memberdayakan perusahaan asuransi dan reasuransi di Tanah Air menjadi lebih berkualitas, termasuk mendorong sumber daya manusia yang terampil.
“Sehingga, industri memiliki kemampuan untuk meng-underwriting lebih baik. Jadi, tidak asal front loading saja. Asal narik premi, terus dilempar ke asuransi atau reasuransi luar negeri,” imbuh dia.
(CNN INDONESIA.com)