KEPRIPOS.COM (KPC), Jakarta — Para sesepuh keluarga tentara duduk di bawah tenda pada Senin siang di Perumahan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Sebagian besar adalah janda berumur. Mereka menunggu kehadiran tamu “istimewa”, yakni para wakil rakyat yang diharapkan bisa mewujudkan aspirasi mereka.
Saat sore tiba, anggota Dewan tiba di Perumahan Tanah Kusir RW 08, Kebayoran Lama Selatan, Jakarta Selatan. Mereka Panitia Kerja Perumahan dan Pertanahan Komisi I DPR RI. Dari tujuh orang anggota DPR yang hadir, satu di antaranya warga setempat.
Warga dan tujuh anggota Komisi I DPR menggelar pertemuan. Komisi I yang membidangi pertahanan merupakan mitra kerja, antara lain, Kementerian Pertahanan, Panglima TNI serta Markas Besar TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Pada pertemuan itu, warga meminta kepada anggota Dewan agar mendorong Komando Daerah Militer Jayakarta (Kodam Jaya) tidak lagi mengurusi aset negara, termasuk tempat tinggal yang mereka diami selama ini.
“Tolong doronglah agar Kodam Jaya melepaskan diri dari mengurus aset-aset negara. Biarlah mereka kembali menjadi TNI pengayom rakyat seperti semula, seperti semasa suami atau ayah kami angkatan ’45 hidup,” kata Ketua RW 08 Tati Cep Endang di Tanah Kusir, Senin (5/9).
Tati menyampaikan keluhan itu pada anggota Dewan yang duduk di hadapan orang tuanya. Dia, orang tuanya, dan warga setempat menolak diusir dari rumah mereka. Alasannya, mereka telah menghuni tempat itu turun-temurun selama 52 tahun.
Tati bahkan menyinggung Delapan Wajib TNI. Tiga di antaranya, butir keenam hingga kedelapan, berbunyi: tidak sekali-kali merugikan rakyat, tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat, menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
Warga lingkungannya, ujar Tati, akan mendukung pembangunan rumah negara untuk kepentingan dinas, khususnya bagi tentara yang masih aktif. Namun, imbuhnya, bukan berarti tentara bisa sewenang-wenang mengosongkan rumah yang telah dihuni warga puluhan tahun.
Menurut Tati, saat ini rumah pribadi milik pensiunan tentara telah mengalami penyusutan bahkan hilang, dan mereka menempati rumah dinas di Tanah Kusir selama puluhan tahun dengan tenang.
Warga yang telah setengah abad lebih berdiam di situ, klaim Tati, memiliki bukti autentik atas kepemilikan tanah.
“Kami bukan penghuni liar. Bukan pemberontak, bukan pengemis,” kata dia.
Apapun, Tati mengatakan tetap menghormati dan mencintai keluarga besar TNI, terutama Angkatan Darat. Oleh sebab itu dia meminta agar kecintaan itu tidak dirusak oleh ulah anggota tentara yang berusaha menggusur tempat tinggal mereka.
“Janganlah rasa ini diubah oleh ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, yang menjadikan anak keturunan kami gelandangan,” ujar Tati.
“Tanah yang kami pakai adalah tanah negara, bukan milik TNI Angkatan Darat,” tegas Tati.
Secara terpisah, Panglima Kodam Jaya Mayjen Teddy Lhaksmana menyatakan, kompleks perumahan itu berada di atas tanah milik TNI AD, dalam hal ini Kodam Jaya. Aset Kodam, ujarnya, merupakan aset negara.
“Tanah negara gimana? Memangnya TNI AD bukan negara?” ujar Teddy saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Dia menyebut warga melakukan tindakan tak bertanggung jawab. Rumah dinas, kata Teddy, dijadikan tempat usaha dan disewakan, bahkan ada yang dijual oleh penghuninya.
TNI, ujarnya, tak akan membiarkan warga menyalahgunakan aset negara.
“Aset itu tanggung jawab TNI. Masak kami biarkan diambilin, dijualin. Mereka tidak bertanggung jawab,” kata Teddy.
Rumah dinas, kata jenderal bintang dua itu, hanya diperuntukkan bagi warakawuri (janda tentara), purnawirawan, dan tentara aktif. Di luar itu, kata Teddy, tak ada yang berhak memakai tanah itu.
“Enggak mungkin kami biarkan tindakan liar. Kami ikuti semua aturan yang berlaku di militer,” kata Teddy.
Ia menjelaskan, saat ini masih banyak tentara aktif yang belum mendapatkan fasilitas semestinya. Kodam Jaya yang berada di wilayah pusat pemerintahan, ujar Teddy, harus mengakomodasi seluruh personel TNI AD yang ada di Jakarta, termasuk anggota Komando Cadangan Strategis AD (Kostrad), Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dan badan pelaksana TNI AD lainnya.
“Kami memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh TNI. Kebetulan Kodam Jaya di Jakarta, jadi banyak sekali tentara yang harus kami layani,” kata Teddy.
Ia tak ingin soal lahan memicu konflik dengan warga. Semua pihak, ujar Teddy, perlu belajar dari pengalaman sebelumnya, dan bersikap sportif.
“Kami juga punya nurani. Tapi saya lebih sayang tentara yang saat ini bekerja. Kalau yang tidak berhak, ya sudah tinggalkan,” kata mantan staf ahli pertahanan dan keamanan Badan Intelijen Negara itu.
Sejumlah anggota Komisi I Bidang Pertahanan DPR mendengarkan keluhan warga Perumahan Tanah Kusir, Kebayoran Lama Selatan, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
|
Wakil Ketua Komisi I DPR Mayjen (Purn) Asril Hamzah Tanjung yang ikut menyambangi Tanah Kusir berkata, kasus konflik tanah itu akan dibahas bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, dan Presiden Jokowi.
“Masalah ini harus diselesaikan dengan perundingan kepala dingin. Masak seniornya digusur oleh mantan anak buah,” kata mantan Kepala Staf Kostrad itu.
Komisi I, ujarnya, bertekad membantu warga setempat bebas dari persoalan itu, sekaligus membantu memperkuat TNI dalam menjalankan kewajibannya.
“Kalau TNI kita kuat, negara kuat. Kalau masih banyak permasalahan seperti ini, kapan kita kuatnya,” ujar politikus Partai Gerindra itu.
Sementara anggota Komisi I DPR Agun Gunandjar yang sejak kecil tinggal di kompleks itu, sempat menjelaskan peta penguasaan lahan oleh Kodam Jaya.
Menurut legislator Golkar itu, banyak tanah yang diklaim milik Kodam Jaya, akhirnya dihuni oleh swasta, dijadikan tempat usaha, bahkan memiliki sertifikat tanah. Penggusuran, kata Agun, bukan hanya kali ini terjadi.
Ia lantas mempertanyakan status tanah bersertifikat yang menjadi senjata Kodam untuk meminggirkan warga.
“Kalau tanah dulu diklaim Kodam, bagaimana dengan tanah Kodam yang sekarang sudah bersertifikat? Kalau itu tanah Kodam, perlakukan sama dengan yang sudah bersertifikat,” kata Agun.
Ia meminta warga setempat tetap tenang dan bertahan ketika ada tentara yang memaksa mereka mengosongkan rumah. Lebih lanjut, Agun berpendapat bahwa pendataan warga oleh anggota TNI perlu ditolak secara halus karena itu merupakan wewenang pengurus Rukun Warga (RW).
“Tetap tenang. Kalau ada yang minta keluar dari rumah, jangan mau dengan alasan apapun,” kata Agun.
Tanah seluas 6,5 hektare di Tanah Kusir itu saat ini dihuni oleh 560 kepala keluarga dengan jumlah warga sedikitnya 3.000 jiwa. Wilayah itu terbagi menjadi delapan Rukun Tetangga (RT), dan di dalamnya berdiri 350 unit tempat tinggal.
Kronologi
Kasus konflik lahan antara TNI AD dan warga di Tanah Kusir menyeruak pada 10 Agustus 2016, ketika plang Korps Kodam Jaya/Jayakarta dipasang di depan rumah salah seorang warga tanpa pemberitahuan.
Sehari sebelumnya, Ketua RW 08 Tati Cep Endang mendapat surat pemberitahuan pendataan dari Asisten Logistik Kodam Jaya yang mengatasnamakan Panglima Kodam Jayakarta. Surat bernomor B/2173/VIII/2016 itu diterima Tati pada malam hari, dan belum sempat diedarkan ke warga lantaran saat itu sedang hujan.
Pemasangan plang membuat warga setempat kaget dan berang. Plang langsung dicabut oleh warga. Aksi pencabutan lantas dilaporkan Komando Distrik Militer 0504/Jakarta Selatan kepada Polsek Kebayoran Lama. Tuduhan dalam laporan itu ialah perusakan lingkungan di sekitar kantor Kodim.
Beberapa aparat keamanan dari Polsek dan Koramil kemudian mendatangi rumah Tati selaku Ketua RW. Pihak Kodim 0504/JS akhirnya meminta Ketua RW, seluruh Ketua RT, dan beberapa warga bertemu di Kantor Kodim untuk dimintai penjelasan. Pertemuan itu dipimpin Komandan Kodim 0504/JS Ade Rony Wijaya.
Usai pertemuan, plang bersimbol Kodam Jaya dipasang kembali. Tertulis di plang tersebut, “Tanah Ini Milik TNI AD cq Kodam Jaya.”
Lima hari kemudian, 15 Agustus 2016, dua truk tentara diparkir di halaman Kantor Kodim. Mereka berniat mendata warga kompleks.
Pada saat yang sama, Dandim Ade Rony Wijaya, perwakilan Detasemen Zeni Bangunan (Denzibang), Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) Kodam Jaya, Komandan Rayon Militer, Zeni Daerah Militer (Zidam), Kodim, dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) bertemu dengan Tati dan warga di Kantor RW.
Ketika pertemuan di Kantor RW baru dimulai, tim pendata Kodim menyebar mendatangi rumah-rumah warga di tiap RT. Setiap tim terdiri dari 10-15 orang tentara yang terdiri dari tiga orang provos, tiga orang intelijen, anggota Aslog Kodam, dua awak media AD, dua perwakilan Kodim, dan empat Satuan Polisi Pamong Praja.
Jumlah keseluruhan dari tim pendata Kodim itu diperkirakan sekitar 120 orang.
Pada saat yang sama, sebagian besar warga RW 08 berkumpul dalam pertemuan di Kantor RW Mereka mendengarkan diskusi kedua belah pihak melalui alat pengeras suara. Isi pembicaraan dapat disimak jelas.
Di situ, Tati telah menyiapkan data warga untuk diserahkan ke Kodim. Tujuannya demi memudahkan pendataan. Namun anggota Denzibang menyatakan data itu kurang akurat.
Denzibang berkata, pendataan oleh Kodim merupakan instruksi Panglima, sebab area Tanah Kusir merupakan aset Kodam Jaya dan masuk dalam daftar inventaris kekayaan negara sejak tahun 1962.
Saat diminta warga untuk memperlihatkan dokumen sebagai bukti, tentara menolak.
Bila warga menolak pendataan oleh Kodim, menurut Tati, tentara di lain waktu akan menerjunkan pasukan dalam jumlah lebih besar hingga mencapai 300 personel, untuk mendata atau menertibkan area kompleks Tanah Kusir tersebut.
“Kami merasa diintimidasi,” ujar Tati.
Menanggapi hal itu, Teddy berkata pendataan bukan untuk menggusur atau mengusir, namun untuk menertibkan aset negara milik Kodam Jaya.
“Kami akan berikan kepada yang berhak. Jadi kami akan tertibkan,” kata Teddy.
(CNN INDONESIA.com)